‘Buku’ sangat melekat dengan beragam kondisi zaman, dari mulai masa lampau yang masih memeluk erat masa perjuangan, hingga masa kini yang melahirkan dunia dan pengetahuan baru. Ada juga ‘Pasar buku’ yang turut merekam zaman melalui pelestarian dan aktivitas keluar-masuknya buku.
Pasar buku, hanya mencakup dua kategori, yakni buku baru dan buku bekas. Buku baru (original) biasanya hadir melalui official store penerbit, sedangkan buku bekas terbilang yang paling mendominasi pasar, selain menjadi alternatif karena murah, pasar buku bekas juga mencakup koleksi lawas dan langka yang biasanya menjadi incaran para pencinta dan kolektor buku.
Menyelami dunia buku lebih dari 5 tahun, rupanya bukan hanya sekedar berpapasan dengan kertas beserta ilmunya, melainkan terdapat banyak corak peradaban yang turut diberikan oleh buku itu sendiri dan juga penggunanya. Mulai dari kondisinya, jenisnya, ragam fisiknya, sebutan terhadap kategori tertentu, istilah-istilah yang digunakan oleh pencinta buku, hingga identitas/julukan yang digunakan pencinta buku untuk proses tawar-menawar.
‘Kondisi’ menjadi salah satu yang utama ditanya dan dipastikan oleh pelanggan dalam proses jual-beli buku. Seperti, “apakah kondisi bukunya baru?”, Atau “kondisinya bekas?”, “Apakah bukunya termasuk kategori langka?”, “Apakah benar bukunya original?”.
Baik offline ataupun online, biasanya pembeli buku menanyakan kondisi untuk memastikan wujud asli si buku, guna benar-benar mendapatkan kondisi buku yang sesuai dengan harapan.
Jika, buku baru sangat mudah dikenali, karena fisiknya yang bersih dan rapih. Maka, lain halnya dengan buku bekas dan buku lawas, di mana kedua kondisi ini sering kali sulit dibedakan karena fisiknya yang sekilas terlihat serupa.
Kondisi Buku Secara Kepemilikan dan Kelangkaan
Secara kepemilikan, buku bekas Angkaraja datang dari tangan kedua, diluar dari sisi penerbit dan penjual, yang artinya sudah pernah dibaca dan disimpan. Sedangkan, buku lawas tidak diketahui pasti siapa pemilik sebelumnya, karena datang dari masa lampau, yang sering kali bukan hanya dari kepemilikan pribadi saja, melainkan koleksi khusus.
Secara Kelangkaan
Secara kelangkaan, masa buku bekas terkadang masih berumur pendek, alias baru dan belum lama digunakan. Sedangkan, buku lawas datang dari buku lampau yang sudah berusia puluhan tahun dan sangat sulit dicari, entah karena edisi yang terbatas ataupun cetakan asli yang sudah hilang.
Perbedaan Buku Bekas dan Buku Lawas
Dalam dunia perbukuan, secara rinci ada beberapa sisi yang menjadi pembeda antara buku bekas dengan buku lawas, berikut diantaranya:
1. Tahun Terbit
– Buku Bekas: Dari sisi buku bekas, tahun terbit masih pendek, yakni terbilang di atas tahun 2000-2005 ke atas. Pada intinya, masih mudah dijangkau dan dicari, dalam artian masih tersedia di pasaran sekalipun versi terbaru sudah tidak naik cetak lagi.
– Buku Lawas: Dari sisi buku lawas, tahun terbit sudah sangat jadoel, seperti dari masa ‘sebelum kemerdekaan’, masa ‘kemerdekaan / 1945’, dan masa-masa ‘orde lama’. Kalau dilihat dari sisi tahunnya yakni 1915-an, 1930-an, yang dominan jauh dibawah dari tahun 1999.
2. Kelangkaan Buku
– Buku Bekas: Pada sisi ini, buku bekas terbilang masih jauh dari sisi masa / kelangkaan buku, di mana hal ini juga bersangkutan dengan tahun terbit. Namun, ada juga buku bekas yang memang datang dari edisi terbatas dan kemungkinan besar sangat sulit didapatkan, sehingga membuat buku tersebut termasuk ke dalam kategori langka.
– Buku Lawas: Lain halnya dengan buku bekas. Buku lawas dominan datang dari kategori buku yang sudah langka, alias sangat sulit sekali ditemukan. Biasanya kita hanya bisa menemukannya saat pameran, atau di toko buku bekas yang memang masih menyimpan koleksi-koleksi klasik.
Buku bekas dan buku lawas dalam sisi kelangkaan ini, juga dibedakan dari ‘siapa penulisnya’. Buku lawas terbilang lahir dari penulis terdahulu, diantaranya seperti tokoh-tokoh besar yang sudah banyak mengabadikan sejarah perjalanan bangsa. Contoh, seperti Buku Sarinah: Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia yang merupakan hasil karya Bung Karno, buku tersebut sudah sangat langka sekali dari 1947-an.
Kemudian, kelangkaan Situs Angkaraja juga dibedakan dari sisi tambahan lainnya, seperti minat, kategori buku, hingga cover. Contoh, seperti dari sisi cover dan minat, salah satunya majalah, di mana majalah memiliki cover dengan model/tokoh tertentu yang hingga saat ini masih menjadi idola pencinta / kolektor buku sehingga masih diburu.
3. Sisi Pengguna
– Buku Bekas: Seperti yang sudah disinggung di atas, bahwa buku bekas dominan datang dari pihak/tangan kedua, yang diluar dari sisi penerbit ataupun penjual buku, artinya sisi ini adalah sudah pernah atau berulang kali dibaca, dicoret, dan disimpan. Selain itu, buku bekas juga bisa berasal dari penggunaan rental atau peminjaman buku, yang biasanya sudah terdapat banyak cap pada fisik buku, dari mulai cover, halaman depan, hingga isi buku.
Kondisi buku bekas dari sisi pengguna, umumnya tidak menentu, kalau bahasa penjualnya disebut ‘untung-untungan’, kalau lagi dapet buku dari pengguna yang rajin membersihkan dan menyimpannya dengan baik ya untung karena bukunya pasti bersih atau terawat. Tetapi, umumnya dengan ‘kondisi seadanya dan apa adanya’.
– Buku Lawas: Sedangkan, buku lawas dominan tidak diketahui siapa pengguna atau pemilik buku sebelumnya, yang biasanya hanya ditandai dengan tanda tangan dan tahun. Selain datang dari masa terdahulu, sering kali buku lawas datang dari edisi yang pada masa tersebut terbatas, sehingga bukan dimiliki secara pribadi melainkan koleksi khusus.
Baik bekas ataupun lawas, biasanya pencinta buku punya julukan/istilah tersendiri untuk bertanya sebelum membeli, seperti “Kolpri, kak?”, “Boleh cabutan, ngga kak?”, “Ex rent atau kolpri, kak?”.
Maksud dari istilah tersebut, yakni untuk memastikan, apakah buku terdahulu yang dijual berasal dari koleksi pribadi, atau bekas rental?
4. Fisik dan Kualitas Buku
– Buku Bekas: Dominan buku bekas, bisa dilihat dari isi buku dan kondisi cover + kualitas kertas. Biasanya, buku bekas sudah terdapat lekukan baik di cover ataupun kertasnya, hingga pada beberapa buku tertentu sering terdapat bercak kekuningan dan coretan.
– Buku Lawas: Sedangkan, buku lawas, full kualitasnya dominan masih terjaga, yang berbeda hanya sisi kertasnya saja yang mulai berubah warna kecokelatan atau retro (namun tidak terdapat bercak/bintik kekuningan). Meski demikian, biasanya kondisi masih dalam keadaan kokoh dan kertasnya terbilang sangat tebal bahkan glossy.
Sisi inilah yang tampak serupa, padahal jauh berbeda. Sebab, buku lawas memang memiliki kualitas yang tidak tersaingi.
Hal ini, terkadang juga bisa masuk dalam kategori ‘untung-untungan’, tergantung pengguna/perawat sebelumnya.
5. Harga
– Buku Bekas: Dari sisi harga, buku bekas masih aman dikantong, karena dominan jauh lebih rendah dari harga pasaran buku original. Di sisi lain, harga buku bekas masih bisa dinego sampai deal, karena dominan hanya mengikuti bagaimana kondisi bukunya.
– Buku Lawas: Sedangkan, untuk buku lawas, harganya terbilang meroket, terlebih jika di pasaran sudah tidak ada yang menjual dan merupakan dari penulis/tokoh besar, maka akan sangat mahal. Bahkan, akan bertambah mahal, jika tahun terbitnya sudah dari masa lampau atau puluhan tahun. Apapun genre bukunya, jika masuk dalam kategori lawas, harga tidak bisa berteman, alias sudah bukan puluhan lagi, melainkan ratusan hingga jutaan.
Penyebutan Kondisi Buku dan Dampaknya bagi Penjual
Begitu melihat perbedaan di atas, buku bekas dan buku lawas sangatlah berbeda, meski dalam dunia perbukuan masih disebut sebagai ‘satu keluarga’.
Dari sisi penjual
Kata ‘bekas’ sendiri, memang mungkin secara bahasa lebih dikenal sebagai penyebutan untuk barang yang ‘lusuh dan usang’. Namun, bagi kami penjual buku, ‘bekas’ adalah penyebutan untuk barang yang ‘apa adanya’, dalam artian belum tentu buruk, lusuh, kotor, dan usang. Melainkan, kondisi barang yang sesuai dengan pemasok, tidak melulu soal kondisi yang buruk.
Sekalipun, jika penjual buku bekas mendapatkan barang yang tidak layak, maka akan disingkirkan, dan jika barang berdebu maka akan dibersihkan. Setiap penjual buku bekas, melakukan proses penyortiran dan pembersihan. Meski menjual barang dalam kategori ‘bekas’, bukan berarti semena-mena pula menjual barang dagangan dengan kotor rupa.
Dari sisi pembeli
Baik pembeli buku yang datang dari para penggemar / kolektor, langganan, ataupun memang pure dari pembeli baru yang mencari buku sesuai kebutuhan saja, kata ‘bekas’ sudah sangat dikenal dekat dan dipahami secara natural, di mana biasanya mereka menganggap ‘kalau buku bekas, ya artinya second, sudah bekas dipakai orang’.
Dalam pasar online, tanpa perlu bertanya lagi, pembeli buku biasanya sudah mengenali buku bekas melalui ciri dan toko, yang kalau membelinya ‘sangat sadar’ akan kondisi bahwa buku yang dijual adalah ‘bekas’, terlebih ada foto dan deskripsi yang membantu proses pengenalan.
Seperti beberapa pelanggan yang turut mengungkapkan kondisi buku melalui ulasan ataupun pesan, “Walaupun buku bekas, tapi bukunya masih rapih banget” tutur Kak Darmawan melalui ulasan Buku SEFT. Lagi, Kak Ella yang merupakan pemburu buku-buku novel juga turut mengutarakan, “Gokillll ini kaya nemu harta karun… Buku bekas tapi masih bagusss, cetakan pertama pulak… rejeki bangettt…”.
Penyebutan kondisi dan kata ‘bekas’ sangat terlihat jelas melalui 2 contoh ungkapan pelanggan di atas. Mereka selalu menggunakan kata ‘bekas’ saat menilai dan tak segan untuk membeberkan kondisi si buku. Sama sekali tidak ada yang keresahan mengenai kondisi ‘bekas’.
Jadi, mana yang lebih melekat? Buku bekas atau buku lawas?
Dalam aktivitas jual-beli buku, penyebutan ‘buku bekas’ jauh lebih melekat, baik dari sisi penjual ataupun pembeli.
Bahkan, masyarakat kalau mendengar atau membaca plang bersisipan kata ‘bekas’ saja pasti secara otomatis langsung paham, bahwa produk yang dijual adalah produk yang telah digunakan orang lain, alias tangan kedua.
Dalam dominasi pasar buku, jarang sekali yang ciri / plang toko menyebut ‘buku antik’ atau ‘buku lawas’. Ada, namun terbilang sangat jarang, sebab ‘buku bekas’ dalam dominasi pasar buku sudah mencakup berbagai kondisi buku, baik buku bekas, buku antik atau buku lawas, hingga buku langka.
Jarang juga ada pelanggan yang bertanya, “Kak, bukunya lawas ya?”, bahkan terbilang nihil. Justru kebanyakan pelanggan to the point bertanya, “Kak, ini kondisinya bekas, ya? Boleh liat isi bukunya, ngga?”
Maka, itulah yang membuat penyebutan ‘buku bekas’ jauh lebih ikonik. Jikalau, ada toko yang memperkenalkan buku lawas, biasanya kata lawas diganti / disambung.
Apa dampak penyebutan kata ‘bekas’ bagi Penjual?
Secara lingkungan pasar, tidak ada dampak tertentu, sebab pasar buku memang hanya terbagi menjadi dua kategori, buku baru dan buku bekas.
Sedangkan, bagi pembeli, ‘kata bekas’ sendiri berdampak, yakni menjadi jauh lebih ekstra teliti ketika membeli. Jadi, bukanlah dampak yang besar, apalagi hanya soal penyebutan.
Itulah, perbedaan antara buku bekas dan lawas beserta lika-liku dunia perbukuan.
Dapat ditarik benang merahnya, bahwa buku bekas itu belum tentu datang dari buku lawas ataupun langka, karena dominan tahun/masanya masih terjangkau dan masih mudah dicari di pasaran. Sedangkan, buku lawas dapat dikatakan sudah pasti bekas, jikalau dari koleksi buku lawas terdapat kondisi yang terbilang baru, pasti ada perubahan, salah satunya dari sisi warna (khususnya bagian pinggir kertas) yang mulai berubah menjadi retro.
Semoga ulasan ini bermanfaat dan menambah wawasanmu dalam mengenal luasnya dunia perbukuan yaa. Salam literasi, salam hangat, semoga sehat-sehat selalu yaa untuk kamu yang lagi baca artikel ini.
Penulis: Dina Amalia