Retno Marsudi adalah Menteri Luar Negeri Indonesia sejak 2014.Dia adalah perempuan pertama yang memegang jabatan tersebut dalam sejarah Indonesia. Sebelumnya, ia memiliki karier diplomatik yang panjang dan berpengalaman, termasuk menjabat sebagai Dubes Indonesia untuk Belanda dan Direktur Jenderal Amerika dan Eropa di Kementerian Luar Negeri.
Sebagai Menlu, Retno terlibat aktif dalam berbagai isu internasional, termasuk perdamaian dan keamanan di kawasan ASEAN, diplomasi kemanusiaan, serta hubungan bilateral dan multilateral. Ia memainkan peran penting dalam memperkuat hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara besar dan berpartisipasi dalam negosiasi internasional, seperti terkait masalah Arab-Palestina, konflik di Myanmar, serta peran Indonesia dalam organisasi internasional seperti PBB dan ASEAN.
Retno juga dikenal memperjuangkan politik luar negeri yang bebas dan aktif, mengedepankan diplomasi damai serta perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri.
Masalahnya mengapa diplomasi Angkaraja terkait isu Rohingya di masa Retno tak berhasil. Begitu juga dengan krisis Laut China selatan dimana Indonesia mempertaruhkan kedaulatannya di Natuna. Diplomasi Retno di sini pun tak berhasil.
Kegagalan diplomasi tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang mencerminkan tantangan dan keterbatasan diplomasi Indonesia.
1. Krisis Rohingya
Meski Indonesia berperan aktif dalam diplomasi kemanusiaan, termasuk mendorong akses bantuan dan repatriasi sukarela pengungsi Rohingya, pengaruh Indonesia terhadap Myanmar terbatas. Regime militer Myanmar tidak menunjukkan komitmen yang cukup untuk menyelesaikan krisis tersebut dan menolak intervensi internasional, termasuk diplomasi ASEAN.
Baca juga:Menyibak Fufufafa dari Mereka yang Tak Kebagian Apapun
Diplomasi Indonesia cenderung mengambil pendekatan yang tidak konfrontatif, mengandalkan soft diplomacy dan negosiasi damai. Sementara itu, situasi di Myanmar membutuhkan tekanan yang lebih kuat, termasuk sanksi atau langkah tegas lainnya. Pendekatan ini membuat diplomasi Indonesia kurang efektif dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah Myanmar.
Sebagaimana diketahui setelah kudeta militer pada tahun 2021, situasi internal Myanmar menjadi semakin tidak stabil. Dengan demikian, upaya diplomasi untuk penyelesaian krisis Rohingya semakin terhambat oleh situasi politik yang kacau di Myanmar sendiri.
2. Krisis Laut China Selatan dan Kedaulatan di Natuna
Indonesia mendukung penyelesaian sengketa Laut China Selatan melalui mekanisme ASEAN dan mendorong penyelesaian kode etik (Code of Conduct/COC) antara ASEAN dan China. Namun, perundingan COC tidak menghasilkan solusi konkret dan China terus meningkatkan kehadirannya di perairan yang disengketakan, termasuk wilayah Natuna. Pendekatan multilateral ini banyak terhambat oleh kepentingan masing-masing negara anggota ASEAN, yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan Indonesia.
Pendekatan diplomasi bebas aktif yang diusung Indonesia cenderung menghindari konfrontasi langsung dengan negara besar seperti China. Hal ini membuat Indonesia lebih berhati-hati dalam mengambil sikap tegas, termasuk dalam merespon pelanggaran China di perairan Natuna. Sikap yang tidak cukup tegas ini memberikan sinyal yang kurang kuat mengenai komitmen Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya.
Di Laut China Selatan, China memiliki keunggulan militer dan pengaruh politik yang jauh lebih besar dibandingkan Indonesia. Meskipun Indonesia memperkuat kehadiran militernya di Natuna, China masih dapat memanfaatkan kekuatannya untuk memproyeksikan kekuasaan di wilayah tersebut.
Kelemahan diplomasi Indonesia di kedua isu ini lebih disebabkan oleh pendekatan yang terlalu moderat dan ketidakmampuan memanfaatkan tekanan internasional secara maksimal. Selain itu, adanya dinamika geopolitik dan kekuatan yang tidak seimbang membuat Indonesia berada pada posisi yang lebih sulit dalam memperjuangkan kepentingan dan kedaulatannya.
Diplomasi middle-east
Pada puncaknya kita melihat drama Indonesia dalam konflik Israel-Arab Palestina. Di sini pun terbukti Indonesia melalui Menlu Retno hanya bisa mencacimaki Israel dan mengelu-elukan Arab-Palestina. Walhasil dengan pendekatan yang tak seimbang ini, Indonesia tak ubahnya Malaysia, dicemooh dunia demokratis sebagai sebagai negara munafik yang hanya disetir kalangan ulama via MUI dan bukannya disetir oleh pedoman politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. dan berangkat dari kesekuleran negara.
Pendekatan yang diambil di bawah Menlu Retno Marsudi menghadapi kritik karena dianggap tidak seimbang dan terlalu berpihak pada Arab-Palestina, sementara mengabaikan pendekatan yang lebih pragmatis atau netral.
Beberapa aspek yang perlu dijelaskan untuk memahami situasi ini :
1. Komitmen ideologis dan sejarah diplomasi
Sejak era Soekarno, Indonesia secara konsisten mendukung Arab-Palestina sebagai bagian dari perjuangan melawan kolonialisme dan penjajahan. Dukungan terhadap Arab-Palestina telah menjadi salah satu pilar dalam kebijakan luar negeri Indonesia dan dianggap sebagai kewajiban moral dan politik. Komitmen ini membentuk sikap diplomasi Indonesia, yang cenderung berpihak pada Arab-Palestina dalam forum-forum internasional.
Pengaruh organisasi seperti MUI dan kelompok-kelompok Islam lainnya turut mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia terhadap konflik Israel-Arab Palestina. Dukungan terhadap Arab-Palestina bukan hanya mencerminkan kepentingan politik luar negeri, tetapi juga respons terhadap tekanan domestik dari kalangan ulama dan masyarakat yang mayoritas Muslim. Pendekatan ini banyak mengarah pada retorika yang cenderung emosional dan tidak seimbang.
2. Ketidakseimbangan dalam pendekatan diplomatik:
Kritik terhadap Israel di forum-forum internasional, seperti PBB, oleh Indonesia seringkali sangat tajam, sementara upaya diplomasi untuk merangkul dengan pendekatan damai atau dialog langsung dengan Israel hampir tidak ada. Sikap yang sangat berpihak ini membuat Indonesia sulit dipandang sebagai mediator yang netral dan berkontribusi dalam proses perdamaian secara konstruktif.
Dalam hal ini, prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif tidak sepenuhnya diterapkan. Kebijakan bebas dan aktif seharusnya mendorong Indonesia untuk bersikap lebih seimbang, mengutamakan dialog, dan menjembatani perbedaan. Sebaliknya, pendekatan yang lebih dogmatis terhadap isu Arab Palestina-Israel tidak sepenuhnya konsisten dengan kebijakan luar negeri yang seharusnya mengedepankan kepentingan nasional dan stabilitas kawasan secara lebih pragmatis.
3. Tantangan untuk menjaga citra Indonesia di pentas global
Sikap Indonesia yang dianggap tidak seimbang dalam menanggapi konflik Arab Palestina-Israel memicu kritik, terutama dari negara-negara demokratis yang mengharapkan pendekatan yang lebih adil. Label “munafik” muncul karena Indonesia terkadang terlihat mengabaikan isu HAM lainnya atau bersikap toleran terhadap pelanggaran yang terjadi di negara-negara lain jika terkait dengan kepentingan politik atau keagamaan.
Kritik juga muncul bahwa diplomasi Indonesia di konflik ini lebih bersifat simbolis dan retorik, dengan kecaman terhadap Israel namun tanpa langkah konkret yang dapat mendukung solusi dua negara atau mempercepat proses perdamaian. Sikap ini membuat peran Indonesia di kancah internasional dalam konteks konflik Arab Palestina-Israel menjadi kurang signifikan.
4. Kendala dalam beradaptasi dengan realitas politik global
Dalam menghadapi isu internasional, Indonesia harus menyeimbangkan dukungan terhadap Arab-Palestina dengan kepentingan nasional yang lebih luas, seperti hubungan dengan negara-negara yang memiliki kebijakan berbeda, termasuk negara-negara demokratis dan kekuatan besar. Tidak adanya hubungan diplomatik dengan Israel membatasi kemampuan Indonesia untuk memainkan peran mediasi yang lebih besar.
Sensitivitas isu Arab-Palestina di dalam negeri, yang banyak menjadi perhatian utama berbagai kelompok politik dan agama, membatasi ruang bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan yang lebih fleksibel atau seimbang. Ini menciptakan ketidakcocokan antara kebijakan luar negeri yang dipengaruhi tekanan domestik dan pendekatan yang lebih sekuler dan pragmatis.
Pendekatan Indonesia yang cenderung berpihak dalam konflik ini merupakan hasil dari perpaduan antara komitmen ideologis, pengaruh tekanan domestik, dan kebijakan luar negeri yang terkadang tidak konsisten. Untuk memperkuat peran diplomasi Indonesia, diperlukan upaya untuk lebih mengedepankan prinsip bebas dan aktif serta mengambil sikap yang lebih seimbang dan konstruktif dalam isu-isu internasional yang kompleks seperti konflik Arab-Palestina-Israel.
Diplomasi Indonesia di era baru dalam tempo dekat ini
Di masa Kepresidenan Prabowo Soebianto nanti, kemungkinan besar akan ada beberapa perubahan dalam gaya dan pendekatan kebijakan luar negeri Indonesia, meskipun garis besar politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif kemungkinan akan tetap dipertahankan.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pergeseran gaya diplomasi di bawah kepemimpinan Prabowo :
1. Pendekatan yang lebih pragmatis dan berorientasi pada kepentingan nasional.
Prabowo memiliki latar belakang militer dan dikenal memiliki pandangan kuat tentang keamanan nasional dan pertahanan. Kebijakan luar negeri kemungkinan besar akan lebih fokus pada memperkuat keamanan, stabilitas regional, dan kedaulatan, termasuk di wilayah-wilayah sengketa seperti Natuna. Ini bisa berarti pendekatan yang lebih tegas terhadap isu-isu yang terkait dengan kepentingan nasional.
Prabowo kemungkinan akan mengutamakan diplomasi ekonomi dan kerjasama dengan negara-negara besar untuk mendorong investasi dan pembangunan di Indonesia. Hal ini dapat mempengaruhi sikap terhadap isu internasional tertentu dengan mengambil pendekatan yang lebih pragmatis, terutama dalam menjalin hubungan dengan kekuatan besar seperti China dan Amerika Serikat.
2. Kemungkinan pendekatan yang lebih seimbang terhadap konflik Israel-Arab Palestina.
Prabowo mungkin mengambil pendekatan yang lebih moderat dan pragmatis dalam menanggapi konflik Arab-Palestina-Israel, dengan mengurangi retorika yang terlalu berpihak atau emosional. Meskipun dukungan untuk Arab-Palestina tetap ada, mungkin akan ada upaya untuk lebih seimbang dan fokus pada solusi konkret serta perdamaian yang dapat diterima semua pihak.
Meski Indonesia Situs Angkaraja tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, Prabowo dapat saja mendorong pendekatan yang lebih terbuka dalam menjajaki upaya diplomatik non-formal atau berbasis dialog yang bisa memajukan posisi Indonesia sebagai mediator yang lebih netral di kancah internasional.
3. Respons terhadap tantangan regional, khususnya Laut China Selatan.
Dalam menghadapi isu Laut China Selatan, Prabowo mungkin akan mengambil sikap yang lebih tegas untuk menegakkan kedaulatan di Natuna. Ini bisa berarti peningkatan anggaran pertahanan atau memperkuat kehadiran militer di wilayah tersebut, serta upaya diplomasi yang lebih keras untuk menanggapi pelanggaran oleh China.
Prabowo juga dapat mengintensifkan diplomasi multilateral dengan negara-negara ASEAN untuk memperkuat posisi bersama dalam menghadapi klaim teritorial di Laut China Selatan.
4. Pengaruh politik domestik dan kelompok agama.
Mengingat pengaruh kelompok agama dan organisasi seperti MUI dalam politik Indonesia, Prabowo mungkin masih akan mempertahankan dukungan terhadap Arab-Palestina untuk merespons ekspektasi domestik. Namun, ada kemungkinan untuk mengkalibrasi pendekatan agar lebih disesuaikan dengan kebijakan luar negeri yang pragmatis dan berorientasi pada kepentingan nasional.
5. Reorientasi kebijakan luar negeri dengan menyelaraskan keamanan dan pembangunan.
Prabowo kemungkinan akan lebih realistis dalam menilai batas kemampuan diplomasi Indonesia, dengan berusaha menyeimbangkan antara menjaga hubungan baik dengan negara-negara besar dan mempertahankan prinsip bebas-aktif. Ini bisa berarti memprioritaskan isu-isu yang langsung berdampak pada kepentingan nasional, seperti ekonomi, pertahanan, dan ketahanan energi.
Kebijakan luar negeri di bawah Prabowo mungkin akan lebih pragmatis dan fokus pada kepentingan nasional, dengan pendekatan yang berpotensi lebih seimbang dan realistis dalam menangani isu-isu global dan regional. Namun, tetap akan ada unsur mempertahankan kebijakan tradisional seperti dukungan untuk Arab-Palestina, yang telah menjadi bagian dari warisan politik luar negeri Indonesia.