Langkah Mundur Penerapan Kembali UN

Tempo.co
Tempo.co

Roh Ujian Nasional (UN) bangkit lagi dan menggeliat di pikiran dan hati insan-insan pendidikan di Tanah Air sejak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menggantikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim. Tak lama setelah dilantik, Mendikdasmen mengeluarkan pernyataan akan melakukan kajian terhadap beberapa kebijakan pendidikan di era pendahulunya, termasuk memberlakukan kembali UN.

Sebelum Abdul Mu’ti resmi menjabat Mendikdasmen, Wakil Presiden RI Ke-10 dan 12 Jusuf Kalla mengkritik dengan sangat keras Menteri Nadiem sebagai orang yang tidak mengerti pendidikan karena bukan berlatar belakang pendidikan. Satu sasaran kritik tersebut mengenai UN yang dihapuskan Nadiem. Menurut Kalla, dirinya orang konservatif yang baru belajar kalau akan menghadapi ujian. “Kalau tidak ada ujiannya, kapan belajarnya?” katanya pada sebuah diskusi terpumpun awal September lalu.

Pernyataan Kalla yang viral di media sosial dan arus utama, diakui atau tidak, turut menggiring opini publik terhadap UN. Berbagai elemen masyarakat mulai membahas kembali UN, entah dalam diskusi serius atau hanya berceloteh di media sosial. Temu Pendidik Nusantara (TPN) XI 2024 awal bulan ini secara khusus membahas UN. Mereka mengatakan UN diperlukan sebagai standar pendidikan yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Sayangnya, mereka tidak membahas efek negatif UN.

Mengapa UN Dihapus?

Benar bahwa harus ada standar pendidikan nasional yang jelas dan terukur. Bahkan seharusnya sudah ada cetak biru (blue print) pendidikan nasional yang paten sehingga tidak terjadi ganti menteri ganti kurikulum. Dengan cetak biru,setiap menteri memiliki arah yang jelas untuk menyempurnakan kurikulum atau sistem pendidikan terus-menerus dan berkesinambungan. Memberlakukan UN yang sudah dihapus menunjukkan sistem pendidikan kita tidak punya arah yang jelas.

Sebagai informasi, UN dihapus oleh Nadiem Makarim tahun 2021 saat Pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia. Saat itu, proses pembelajaran di seluruh Tanah Air terganggu. Semua sekolah ditutup. Murid-murid harus belajar di atau dari rumah menggunakan aplikasi konferensi. Itu kalau ada jaringan internet. Di daerah terpencil dengan akses internet buruk, pembelajaran praktis berhenti. Dampaknya kualitas pendidikan kita mundur 2-3 tahun. Terjadinya generasi yang hilang (lost generation) tidak bisa dihindarkan.

Akan tetapi, Covid-19 sebenarnya hanya momentum yang menguatkan Nadiem Makarim yakin menghentikan UN. Masalah ini sudah menjadi perdebatan panjang dan lama di kalangan murid, orang tua, dan pelaku pendidikan di Indonesia. Maka, ketika UN atau sejenisnya dihapus, semua orang, termasuk PGRI yang kini menginginkan UN kembali, merasakan adanya angin segar dalam dunia pendidikan nasional. Tiadanya UN akan mendorong hadirnya pendidikan yang berkeadilan bagi semua murid.

Ada sejumlah alasan mengapa UN Cvtogel harus dihapuskan. Pertama, UN acap kali membuat para murid stres dan mengalami tekanan hebat dalam menjalani proses pendidikan mereka. Tak jarang murid harus mengakhiri hidupnya karena tidak mampu menanggung beban psikologis akibat UN. Hubungan antaranggota keluarga juga menjadi terganggu karena anak-anak tidak mampu memenuhi harapan orang tua yang sudah bersusah payah menyekolahkan tetapi gagal menurut UN. Sekolah sungguh tidak menyenangkan.

Kedua, UN mendorong terjadinya kecurangan masif. Sudah menjadi rahasia umum, UN selalu diwarnai dengan kejadian mencontek di kalangan siswa. Kunci jawaban bisa tersebar luas, bahkan dibagikan oleh gurunya sendiri,karena UN menentukan nama baik sekolah. Pengalaman jadi pengawas UN, panitia ujian terang-terangan meminta agar tidak ketat mengawasi murid. Hal itu terjadi saat UN menentukan kelulusan siswa, bagaimana pula jika UN hanya tes biasa yang tidak menentukan kelulusan.

Ketiga, UN merupakan tindakan ketidakadilan yang disengaja oleh negara kepada murid. Harus diakui, negara belum bisa memberikan mutu pendidikan yang merata kepada seluruh warga di seluruh pelosok negeri. Tambah lagi, karakter dan budaya tiap-tiap daerah tentu berbeda-beda dan tidak mungkin disamakan. Memberlakukan standar yang sama kepada semua murid sungguh tidak adil karena menghilangkan hak anak untuk diakui. Menjadi terdidik bukan berarti harus lulus UN.

Keempat, UN melestarikan terjadinya diskriminasi guru dan mata pelajaran karena hanya mengujikan mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris. Yang diuji pun hanya kognitif. Tidak ada UN afeksi dan keterampilan. Perlakuan ini memantik buruknya penerimaan siswa terhadap guru dan mata pelajaran non-UN. Efeknya jelas, guru mata pelajaran di luar UN merasakan kehadirannya tidak penting. Penerimaan siswa terhadap mereka pun pada umumnya sangat rendah.

Kelima, UN menghilangkan tanggung jawab sebenarnya dari negara terhadap warganya. Jika UN diharapkan untuk memetakan mutu pendidikan, sungguh tidak tepat apabila murid yang diuji. Buruknya kualitas pendidikan pasti bukan kesalahan murid, melainkan kesalahan negara. Seharusnya negara lebih dulu menguji guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, dan pemerintah apakah sudah sesuai standar benar. Kalau hanya menerapkan ujian kepada murid, negara hanya ‘lempar batu, sembunyi tangan’.

Jatuh ke Lubang yang Sama

Keenam, UN bukan unsur hakiki dalam pendidikan. Pendidikan adalah proses pembudayaan dan tumbuh kembang segala kekuatan yang ada dalam diri murid. Itu filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. Sekolah bukan arena lomba lari yang mengharuskan murid bergerak serantak sampai batas akhir. Menerapkan standar yang sama terhadap setiap siswa ibarat memaksa ikan harus mampu memanjat pohon. UN tidak akan menganimasi murid tumbuh menjadi pribadi berbudaya, numerat, dan literat.

Melihat realitas itu, pemerintah atau menteri di bidang pendidikan harus menolak penerapan ulang UN dan tidak hanya memerhatikan celotehan masyarakat di media, termasuk para tokoh atau pesohor di negara ini. Lebih baik negara menguji dirinya terlebih dahulu dan semua perangkat yang mendukung proses pembelajaran terbaik sesuai standar yang tepat-terukur daripada sibuk menghabiskan energi membuat alat ukur kepada murid sebagai standar tunggal keberhasilan pendidikan.

Penerapan kembali UN akan membawa pendidikan Indonesia berjalan mundur. UN akan membuat kita menjadi keledai bodoh yang selalu jatuh ke lubang yang sama. Banyak riset dan realita yang membuktikan program UN menghasilkan lebih banyak mudarat daripada manfaat. Memang standar diperlukan, tetapi bukan UN. Melihat disparitas wilayah dan keadaan warga negara, mungkin ada baiknya dibuat beberapa standar menurut kondisi riil para murid. Standar di kota tentu berbeda dengan standar di pelosok.

Yang paling urgen distandarisasi saat ini adalah guru. Tidak semua guru memiliki kompetensi yang tepat sesuai kebutuhan murid. Bahkan belum semua guru mampu melayani murid sesuai kebutuhan murid sebagaimana dikatakan Ki Hajar Dewantara bahwa ‘guru harus menghamba kepada murid’. Guru ada semata-mata untuk melayani murid. Oleh karena itu, guru harus mengajari murid berangkat dari keadaan murid yang sebenarnya, bukan standar yang ditetapkan oleh guru atau negara.

Memberlakukan kembali UN tidak akan berdampak lebih baik terhadap pendidikan nasional. Program itu justru akan kembali menghabiskan banyak energi bangsa ini dan hasilnya kosong. Rendahnya mutu pendidikan kita bukan terletak pada tiadanya UN, melainkan belum terbentuknya budaya intelektual atau kultur belajar di tengah masyarakat. Masyarakat kita belum memiliki mentalitas belajar. Tugas pemerintah membangun budaya itu, bukan menghidupkan mayat UN.

By admin

Related Post